Selasa, 26 Februari 2013
Dunia Masih Adil, Bagi Mereka Yang Benar-Benar Berusaha
Ada sebuah kisah nyata sederhana yang akan kami bagikan pada Anda. Sebuah kisah mengenai wanita tua berusia 83 tahun yang masih berdagang untuk menghidupi keluarganya. Apa yang Anda bayangkan di usia 83 tahun Anda? Mungkin masa tua sambil menimang cucu, masa pensiun yang tenang dan segala kebahagiaan yang Anda idamkan. Nyatanya Shila Ghosh, wanita tua yang tinggal di Pali, Bengal Barat, India, setiap sore menaiki bus yang akan mengantarkannya dari tempat di mana ia tinggal, menuju tempat ff mana ia biasa menjajakan dagangannya.
Ia sudah melakukannya sejak lama, meski banyak orang hanya berlalu lalang melewatinya tanpa ingin membeli makanan ia jajakan. Bila Shila ditanya, apakah wanita tua ini tidak lelah dengan apa yang ia lakukan setiap hari, ia akan tersenyum dan berkata, "Tidak, aku kemari dengan bus. Lagipula, kesehatanku tidak seburuk itu." Mungkin tidak cukup di situ keheranan kita pada wanita bekerja yang sudah lanjut usia dan mestinya beristirahat di rumah. Wanita ini masih memiliki tanggungan 4 anggota keluarga sementara penghasilannya sebanyak 400 rupee setiap hari tak akan pernah cukup. Mungkin Shila bisa mengemis, namun ia masih memiliki harga diri dan rasa hormat pada orang lain, sehingga ia lebih memilih untuk bekerja dengan segenap dirinya sendiri daripada harus mengemis di jalanan.
Shila adalah contoh wanita yang tidak menyerah dan tidak mengeluh pada keadaan. Ia tahu ia sudah tua, namun ia tidak akan bertahan hidup bila ia tidak melakukan sesuatu dengan kondisi hidupnya yang serba terbatas bukan? Ia bahkan tidak memikirkan dirinya sendiri, ia masih bersedia bekerja demi menghidupi 4 orang anggota keluarganya. Sebuah kisah kehidupan sederhana dari seorang wanita tua ini, bisa mengajarkan kita mengenai perjuangan untuk bertahan hidup. Ya, karena tidak banyak dari kita yang benar-benar berjuang dalam kehidupan, hanya menikmati hidup dan menunggu bola kesempatan datang kepada kita. Dan kita akan mulai mengeluh ketika kesulitan yang datang.
Ingatkah berapa kali dalam sehari kita mungkin mengeluhkan apa yang tidak kita dapatkan? Apa yang tidak kita miliki? Tentang hidup yang tidak sesuai impian. Tentang barang yang tidak kita miliki. Tentang kecantikan yang kita dambakan. Sudahkah kita benar-benar bersyukur dengan apa yang Tuhan berikan hari ini, kemarin, seminggu yang lalu? Sudahkah kita benar-benar memanfaatkan itu semua?
Jangan mengeluh dengan gaji sedikit. Usahakan dengan halal apa yang kita inginkan. Jangan mengeluh dengan kulit yang tidak putih atau wajah yang tidak cantik, Anda bisa melakukan kebaikan dan hati Anda akan lebih dilihat daripada bagaimana rupa Anda. Jangan menyerah pada kemiskinan, berusaha dan berusahalah. Dunia ini masih adil bagi mereka yang ingin berusaha dan rejeki akan datang pada mereka yang berjuang. Tak usah Anda mengeluh karena pada akhirnya Andalah yang akan lebih bahagia dengan apa yang Anda perjuangkan.
"..karena tidak banyak dari kita yang benar-benar berjuang dalam kehidupan, hanya menikmati hidup dan menunggu bola kesempatan datang kepada kita. Dan kita akan mulai mengeluh ketika kesulitan yang datang."
Bukan Hanya di Sinetron
Buat beberapa orang, menggunakan jilbab adalah hal yang membutuhkan kelegawaan besar. Mungkin aku adalah salah satu yang beruntung karena tidak butuh waktu lama bagiku untuk memutuskan mengenakannya. Kadang aku berpikir, aku memang tidak memikirkan matang-matang tantang keputusan berjilbab. Namun setelah aku membaca banyak sumber tentang jilbab, aku percaya bahwa sebenarnya jilbab itu sendiri sudah merupakan hal yang matang bagi kehidupan muslimah.
Tidak banyak yang tahu bahwa aku sudah memutuskan untuk berjilbab. Aku hanya memberi tahu ayahku dan berkonsultasi dengan satu dua orang sahabat. Mereka bertanya kenapa aku mau mengenakan jilbab.
"Dulu aku pikir selama hidup dengan berbuat baik dan menjadi orang baik, itu sudah cukup. Namun ternyata setelah aku baca banyak info religi, kalau aku nggak pakai jilbab itu semua akan sia-sia. Aku mau Allah mencintaiku juga, bukan hanya aku minta apa-apa pada-Nya," jawabku.
Jawaban yang sangat 'ibu peri' ini menghantarkanku pada restu dan doa-doa orang di sekitarku, agar aku tetap istiqomah. Namun aku sungguh-sungguh merasakannya, aku merasa yakin berbekal tekadku untuk tidak menjadi manusia yang sia-sia ini aku bisa tetap melangkah sebagai muslimah berjilbab.
Sejak awal, sahabatku sudah berpesan, "Nanti setelah pakai jilbab, reaksi orang akan berbeda-beda. Kamu yang teguh, ya?" atau, "Kalau kamu udah memutuskan untuk pake jilbab, besok-besok jangan dilepas lagi. Di depan nanti mungkin akan ada rintangan dan hambatan yang bikin pengen lepas jilbab. Jadi, pikirkan dulu baik-baik."
Aku iya-iya saja dengan nasehat sahabatku. Seperti sepintas terpikir bahwa orang-orang terdekatku akan lebih menyambut baik daripada berkata yang aneh-aneh. Aku benar-benar berdiri tegak dengan jilbabku di hari-hari menjelang akhir bulan puasa, hingga tiba waktunya orang-orang di sekitarku harus mengetahui bahwa aku sudah berjilbab.
Namun, di suatu kesempatan pertemuan keluarga saat Lebaran, seorang saudara perempuanku berkata, "Lho, kalo pake jilbab nanti kamu udah nggak bisa gaya-gayaan dengan Japanese Style ya? Udah nggak keren lagi." ujarnya. Aku memang sebelum ini sangat menyukai gaya Jepang. Rambutku pun pernah kuwarnai dan kubentuk dengan banyak gaya seperti anak muda di Jepang. Aku cengengesan dan berkata, "Hehehe, iya nggak apa-apa."
Aku sedikit merasakan 'cubitan kecil' di batinku. Yaah, ternyata saudariku ada yang berpikir demikian. Tapi aku masih biasa-biasa saja. Tidak apa-apa mungkin karena pengaruh keyakinan yang berbeda sehingga pemahaman kami berbeda, batinku.
Reaksi lain datang lagi saat aku bergaul dengan teman-temanku. Saat kami sedang berkumpul untuk silaturahmi di rumah teman, tiba-tiba salah seorang temanku menunjukkan pembicaraan di messenger ponselnya, "Mbak, liat deh."
Rupanya salah satu teman mengambil fotoku diam-diam dengan ponsel dan menyebarkannya kepada grup di messenger. Salah satunya memberi komentar, "Wah, yang pake baju item diperiksa dulu. Jangan-jangan dia bawa bom." Saat itu memang aku sedang memakai baju luaran berwarna hitam.
Uggh... Cubitan kedua. Biar begitu aku tetap pasang senyum sambil menguatkan diriku di dalam hati, "Oh, ini rupanya yang dimaksud sahabatku tentang reaksi orang yang bermacam-macam."
Ternyata ini bukan reaksi paling mengejutkan yang pernah aku terima. Kali ini seorang sahabatku dari luar pulau mengirimi pesan singkat, karena melihat banyak foto di akun Facebook yang memperlihatkan aku berjilbab serta rumor dari teman lain. "Kamu pake jilbab ini seterusnya atau hanya 'edisi Lebaran'?" tanyanya.
"Aku pake terus kok," jawabku sambil menyematkan emoticon senyum.
Tak berapa lama dia membalas, "Yah, rambutmu udah nggak lucu lagi dong?"
"Hehehe, hikmahnya aku nggak perlu ribet lagi lho kalo dandan. Aku nggak harus bete karena sedang bad hair day dan rambutku lepek," jawabku.
Dia membalas lagi, "Hmm.. nanti kalo kita hang out, aku nggak ada temennya pake baju pendek lagi dong?"
"Hahahaha, ya pake aja kalo kamu mau. Nanti aku sesuaikan warnanya aja. Bajuku sekarang jadi warna-warni, kok. Kan ada variasi pashminanya juga," jawabku lagi.
"Wah jadi kamu sekarang mulai nabung baju-baju berjilbab, ya? Wooow... Eh, jangan lupa nanti kalo ke sini jilbabnya dilepas, ya?" balasnya dengan emoticon menjulurkan lidah dan hashtag 'syaiton' atau setan.
HAAKK..!! Sampai-sampai aku bertanya-tanya dalam hati, "Ini temenku, nih?"
Terbiasa dengan sahabat-sahabat di sekitarku yang mengucap 'Subhanallah' atau 'Alhamdulillah' mengetahui aku berjilbab, ini sedikit membuatku heran karena responnya berbeda. Aku heran karena posisinya sebagai sahabatku kupikir akan mendukungku sejak awal. Meski aku rasa mungkin itu bercanda, namun aku tetap merasa ada yang salah.
Anehnya, aku sedikit kecewa tapi juga ingin tertawa di dalam hati. Ya Allah, ternyata hal seperti ini memang ada ya? Kupikir hanya adegan-adegan sinetron religi yang ada di televisi. Aku geleng-geleng kepala entah kepada apa. Mungkin pada 'penunjukan-penunjukan' yang kualami ini.
Tidak semua orang telah menerima jilbab sebagai pakaian muslimah. Meski zaman telah modern dan banyak perkembangan model jilbab yang nampak cantik, masih ada yang menganggapnya aneh. Kulit luar memang banyak mempengaruhi pada kesan pertama, sehingga mengabaikan 'isi sebenarnya' yang ada di dalam.
Kini aku mengerti mengapa sahabatku pernah berpesan agar aku tetap teguh pada jilbab ini. Memang menggunakannya akan mengundang banyak reaksi dan tidak juga mudah untuk yang baru menggunakan. Nasehat itu pun jangan diremehkan, mereka tidak hanya ada di adegan sinetron televisi. Justru sinetron televisi itu sedikit banyak memang mengandung nilai-nilai dari kehidupan nyata.
Tidak banyak yang tahu bahwa aku sudah memutuskan untuk berjilbab. Aku hanya memberi tahu ayahku dan berkonsultasi dengan satu dua orang sahabat. Mereka bertanya kenapa aku mau mengenakan jilbab.
"Dulu aku pikir selama hidup dengan berbuat baik dan menjadi orang baik, itu sudah cukup. Namun ternyata setelah aku baca banyak info religi, kalau aku nggak pakai jilbab itu semua akan sia-sia. Aku mau Allah mencintaiku juga, bukan hanya aku minta apa-apa pada-Nya," jawabku.
Jawaban yang sangat 'ibu peri' ini menghantarkanku pada restu dan doa-doa orang di sekitarku, agar aku tetap istiqomah. Namun aku sungguh-sungguh merasakannya, aku merasa yakin berbekal tekadku untuk tidak menjadi manusia yang sia-sia ini aku bisa tetap melangkah sebagai muslimah berjilbab.
Sejak awal, sahabatku sudah berpesan, "Nanti setelah pakai jilbab, reaksi orang akan berbeda-beda. Kamu yang teguh, ya?" atau, "Kalau kamu udah memutuskan untuk pake jilbab, besok-besok jangan dilepas lagi. Di depan nanti mungkin akan ada rintangan dan hambatan yang bikin pengen lepas jilbab. Jadi, pikirkan dulu baik-baik."
Aku iya-iya saja dengan nasehat sahabatku. Seperti sepintas terpikir bahwa orang-orang terdekatku akan lebih menyambut baik daripada berkata yang aneh-aneh. Aku benar-benar berdiri tegak dengan jilbabku di hari-hari menjelang akhir bulan puasa, hingga tiba waktunya orang-orang di sekitarku harus mengetahui bahwa aku sudah berjilbab.
Namun, di suatu kesempatan pertemuan keluarga saat Lebaran, seorang saudara perempuanku berkata, "Lho, kalo pake jilbab nanti kamu udah nggak bisa gaya-gayaan dengan Japanese Style ya? Udah nggak keren lagi." ujarnya. Aku memang sebelum ini sangat menyukai gaya Jepang. Rambutku pun pernah kuwarnai dan kubentuk dengan banyak gaya seperti anak muda di Jepang. Aku cengengesan dan berkata, "Hehehe, iya nggak apa-apa."
Aku sedikit merasakan 'cubitan kecil' di batinku. Yaah, ternyata saudariku ada yang berpikir demikian. Tapi aku masih biasa-biasa saja. Tidak apa-apa mungkin karena pengaruh keyakinan yang berbeda sehingga pemahaman kami berbeda, batinku.
Reaksi lain datang lagi saat aku bergaul dengan teman-temanku. Saat kami sedang berkumpul untuk silaturahmi di rumah teman, tiba-tiba salah seorang temanku menunjukkan pembicaraan di messenger ponselnya, "Mbak, liat deh."
Rupanya salah satu teman mengambil fotoku diam-diam dengan ponsel dan menyebarkannya kepada grup di messenger. Salah satunya memberi komentar, "Wah, yang pake baju item diperiksa dulu. Jangan-jangan dia bawa bom." Saat itu memang aku sedang memakai baju luaran berwarna hitam.
Uggh... Cubitan kedua. Biar begitu aku tetap pasang senyum sambil menguatkan diriku di dalam hati, "Oh, ini rupanya yang dimaksud sahabatku tentang reaksi orang yang bermacam-macam."
Ternyata ini bukan reaksi paling mengejutkan yang pernah aku terima. Kali ini seorang sahabatku dari luar pulau mengirimi pesan singkat, karena melihat banyak foto di akun Facebook yang memperlihatkan aku berjilbab serta rumor dari teman lain. "Kamu pake jilbab ini seterusnya atau hanya 'edisi Lebaran'?" tanyanya.
"Aku pake terus kok," jawabku sambil menyematkan emoticon senyum.
Tak berapa lama dia membalas, "Yah, rambutmu udah nggak lucu lagi dong?"
"Hehehe, hikmahnya aku nggak perlu ribet lagi lho kalo dandan. Aku nggak harus bete karena sedang bad hair day dan rambutku lepek," jawabku.
Dia membalas lagi, "Hmm.. nanti kalo kita hang out, aku nggak ada temennya pake baju pendek lagi dong?"
"Hahahaha, ya pake aja kalo kamu mau. Nanti aku sesuaikan warnanya aja. Bajuku sekarang jadi warna-warni, kok. Kan ada variasi pashminanya juga," jawabku lagi.
"Wah jadi kamu sekarang mulai nabung baju-baju berjilbab, ya? Wooow... Eh, jangan lupa nanti kalo ke sini jilbabnya dilepas, ya?" balasnya dengan emoticon menjulurkan lidah dan hashtag 'syaiton' atau setan.
HAAKK..!! Sampai-sampai aku bertanya-tanya dalam hati, "Ini temenku, nih?"
Terbiasa dengan sahabat-sahabat di sekitarku yang mengucap 'Subhanallah' atau 'Alhamdulillah' mengetahui aku berjilbab, ini sedikit membuatku heran karena responnya berbeda. Aku heran karena posisinya sebagai sahabatku kupikir akan mendukungku sejak awal. Meski aku rasa mungkin itu bercanda, namun aku tetap merasa ada yang salah.
Anehnya, aku sedikit kecewa tapi juga ingin tertawa di dalam hati. Ya Allah, ternyata hal seperti ini memang ada ya? Kupikir hanya adegan-adegan sinetron religi yang ada di televisi. Aku geleng-geleng kepala entah kepada apa. Mungkin pada 'penunjukan-penunjukan' yang kualami ini.
Tidak semua orang telah menerima jilbab sebagai pakaian muslimah. Meski zaman telah modern dan banyak perkembangan model jilbab yang nampak cantik, masih ada yang menganggapnya aneh. Kulit luar memang banyak mempengaruhi pada kesan pertama, sehingga mengabaikan 'isi sebenarnya' yang ada di dalam.
Kini aku mengerti mengapa sahabatku pernah berpesan agar aku tetap teguh pada jilbab ini. Memang menggunakannya akan mengundang banyak reaksi dan tidak juga mudah untuk yang baru menggunakan. Nasehat itu pun jangan diremehkan, mereka tidak hanya ada di adegan sinetron televisi. Justru sinetron televisi itu sedikit banyak memang mengandung nilai-nilai dari kehidupan nyata.
Anakku, Apakah Kamu Malu Makan Bersama Ayah?
Di sebuah kota kecil, tinggal sebuah keluarga kecil. Keluarga tersebut terdiri dari ayah, ibu, seorang anak berusia lima tahun bernama Brian dan kakek. Bisa dikatakan, keluarga ini adalah keluarga yang sibuk. Walau begitu, mereka selalu menyempatkan waktu untuk makan malam bersama. Mereka selalu makan di meja yang sama, sama seperti keluarga pada umumnya.
Pada suatu hari, saat usia sang kakek makin menua, pandangannya mulai rabun. Tangannya yang renta mulai goyah saat mengangkat benda. Rutinitas makan malam yang biasanya lancar dan menyenangkan jadi berantakan karena ulah sang kakek. Beberapa kali dia menumpahkan minuman, sehingga taplak meja menjadi kotor. Belum lagi jika makanan yang dia ambil berceceran di lantai, anak laki-lakinya dan menantu perempuannya jadi kesal karena harus berkali-kali membersihkan meja dan lantai setelah makan malam.
Akhirnya suami istri tersebut sepakat untuk memisahkan sang kakek dari meja makan. Dibuatlah sebuah meja kayu kecil dan sebuah bangku kayu untuk sang kakek. Meja makan dan kursi itu diletakkan di pojok ruangan yang jauh dari meja makan utama. Di sana sang kakek makan dan tidak pernah lagi duduk bersama anak, menantu dan cucunya.
Sadar bahwa dirinya sudah tua, kakek itu menerima apa yang diinginkan anaknya. Dia makan tanpa mengeluh atau protes karena mejanya dipisah. Walaupun ada makanan yang masuk ke dalam perutnya, batin sang kakek merintih, karena dia tidak bisa lagi mendengar tawa dan canda dari cucunya saat makan. Sesekali ada air mata yang menggenang di pelupuk mata sang kakek. Tetapi dia tidak ingin menyusahkan anaknya, sehingga dia selalu mengelap air mata itu sebelum meluncur ke pipinya yang keriput.
Tiba saat akhir pekan, dimana keluarga kecil itu bercanda dan bersenda gurau di taman belakang. Brian yang lincah dan ceria berlarian di taman belakang ditemani ayah dan ibunya. Sedangkan sang kakek sedang membaca koran di dalam rumah. Bocah lima tahun itu mengumpulkan ranting-ranting kayu dan bongkahan kayu sambil bernyanyi-nyanyi riang.
Seperti bocah pada umumnya, Brian senang menyanyikan lagu yang diajarkan di taman kanak-kanak.
“Brian, untuk apa kamu mengumpulkan ranting dan kayu itu?” tanya sang ayah.
Sang bocah menjawab dengan ceria, “Aku menabung, ayah,”
“Menabung kayu untuk apa?” tanya sang ayah yang heran.
“Kalau aku sudah besar nanti, aku akan membuatkan meja makan dan kursi kayu untuk ayah dan ibu, seperti yang ayah ibu buatkan untuk kakek,” ujar sang bocah dengan polos.
Mendengar jawaban Brian, suami dan istri itu merasa berdosa dan bersalah telah mengucilkan sang kakek. Mereka sadar, saat mereka tua nanti, mereka ingin satu meja makan dengan Brian, tidak dipisahkan oleh meja kecil di pojok ruangan. Dengan air mata berlinang, sang suami dan istrinya meminta maaf kepada sang kakek. Sejak malam itu, kakek kembali makan di meja makan bersama. Jika ada minuman yang tumpah atau makanan yang berceceran, suami dan istri itu tidak mempermasalahkannya lagi.
Mereka membersihkannya dengan tulus, mereka ingat bahwa saat kecil dulu, mereka juga makan berceceran dan dibersihkan dengan tulus oleh orang tua mereka.
***
Ladies, selalu sayangi orang tua Anda. Usia mereka yang semakin renta jangan membuat Anda merasa kerepotan merawat mereka. Tetaplah tulus menjaga dan merawat mereka, karena dari mereka, hidup Anda dimulai dengan doa-doa yang selalu mereka lantunkan setiap saat
Pada suatu hari, saat usia sang kakek makin menua, pandangannya mulai rabun. Tangannya yang renta mulai goyah saat mengangkat benda. Rutinitas makan malam yang biasanya lancar dan menyenangkan jadi berantakan karena ulah sang kakek. Beberapa kali dia menumpahkan minuman, sehingga taplak meja menjadi kotor. Belum lagi jika makanan yang dia ambil berceceran di lantai, anak laki-lakinya dan menantu perempuannya jadi kesal karena harus berkali-kali membersihkan meja dan lantai setelah makan malam.
Akhirnya suami istri tersebut sepakat untuk memisahkan sang kakek dari meja makan. Dibuatlah sebuah meja kayu kecil dan sebuah bangku kayu untuk sang kakek. Meja makan dan kursi itu diletakkan di pojok ruangan yang jauh dari meja makan utama. Di sana sang kakek makan dan tidak pernah lagi duduk bersama anak, menantu dan cucunya.
Sadar bahwa dirinya sudah tua, kakek itu menerima apa yang diinginkan anaknya. Dia makan tanpa mengeluh atau protes karena mejanya dipisah. Walaupun ada makanan yang masuk ke dalam perutnya, batin sang kakek merintih, karena dia tidak bisa lagi mendengar tawa dan canda dari cucunya saat makan. Sesekali ada air mata yang menggenang di pelupuk mata sang kakek. Tetapi dia tidak ingin menyusahkan anaknya, sehingga dia selalu mengelap air mata itu sebelum meluncur ke pipinya yang keriput.
Tiba saat akhir pekan, dimana keluarga kecil itu bercanda dan bersenda gurau di taman belakang. Brian yang lincah dan ceria berlarian di taman belakang ditemani ayah dan ibunya. Sedangkan sang kakek sedang membaca koran di dalam rumah. Bocah lima tahun itu mengumpulkan ranting-ranting kayu dan bongkahan kayu sambil bernyanyi-nyanyi riang.
Seperti bocah pada umumnya, Brian senang menyanyikan lagu yang diajarkan di taman kanak-kanak.
“Brian, untuk apa kamu mengumpulkan ranting dan kayu itu?” tanya sang ayah.
Sang bocah menjawab dengan ceria, “Aku menabung, ayah,”
“Menabung kayu untuk apa?” tanya sang ayah yang heran.
“Kalau aku sudah besar nanti, aku akan membuatkan meja makan dan kursi kayu untuk ayah dan ibu, seperti yang ayah ibu buatkan untuk kakek,” ujar sang bocah dengan polos.
Mendengar jawaban Brian, suami dan istri itu merasa berdosa dan bersalah telah mengucilkan sang kakek. Mereka sadar, saat mereka tua nanti, mereka ingin satu meja makan dengan Brian, tidak dipisahkan oleh meja kecil di pojok ruangan. Dengan air mata berlinang, sang suami dan istrinya meminta maaf kepada sang kakek. Sejak malam itu, kakek kembali makan di meja makan bersama. Jika ada minuman yang tumpah atau makanan yang berceceran, suami dan istri itu tidak mempermasalahkannya lagi.
Mereka membersihkannya dengan tulus, mereka ingat bahwa saat kecil dulu, mereka juga makan berceceran dan dibersihkan dengan tulus oleh orang tua mereka.
***
Ladies, selalu sayangi orang tua Anda. Usia mereka yang semakin renta jangan membuat Anda merasa kerepotan merawat mereka. Tetaplah tulus menjaga dan merawat mereka, karena dari mereka, hidup Anda dimulai dengan doa-doa yang selalu mereka lantunkan setiap saat
Sumber : Vemale.com
Jangan Menangis Saat Hatimu Patah Atau Hancur
Sakit hati, perih rasanya. Tidak ada seorang pun yang bisa menghindari kondisi ini. Rasa kecewa, marah, dikhianati dan sebagainya.. bisa membuat hati terasa remuk berkeping-keping. Di saat seperti ini, Anda mungkin menangis. Boleh saja, tetapi berbahagialah setelah itu.
***
Di sebuah desa kecil, hidup seorang pemuda yang selalu membanggakan hatinya. Di masa itu, semua orang bisa melihat hati orang lain. Sang pemuda menjaga hatinya dengan sangat baik, tidak ada cacat sedikitpun pada hatinya. Itu membuatnya bangga dan sedikit sombong.
Pada suatu hari, sang pemuda bertemu dengan seorang kakek penebang pohon. Karena sang kakek hanya memakai celana saat sedang menebang pohon, sang pemuda bisa melihat hati sang kakek. Itu adalah hati paling jelek yang pernah dilihat sang pemuda. Hati kakek itu penuh dengan bekas cuilan, tambalan dari hati lain, lebam, tidak ada bagiannya yang mulus. Sang pemuda kembali sombong dan bangga.
“Hai kakek, coba lihat hatiku, jauh lebih sempurna daripada hatimu,” ujarnya sambil membuka kemeja dan memperlihatkan hatinya yang mulus tanpa cacat.
Sang kakek langsung tersenyum dan menghentikan kegiatan menebang pohon. “Kau benar, hatimu sangat bagus,” ujar sang kakek tanpa melepas senyumnya.
“Wahai kakek, seharusnya kamu menjaga hatimu seperti aku. Coba lihat hatimu, apa saja yang telah kamu lakukan?” lanjut sang pemuda.
Sang kakek tersenyum, “Kamu boleh saja bangga dengan hatimu yang mulus, tetapi aku lebih bangga pada hatiku yang seperti ini,”
Si pemuda sombong langsung merasa heran.
“Anak muda, apa kamu pernah jatuh cinta?” tanya sang kakek.
Sang pemuda menggeleng.
“Ah ya.. sudah aku duga,” ujar sang kakek. “Hatiku patah pertama kali saat aku mencintai seorang gadis dari desa sebelah, saat usiaku tidak jauh dari usiamu. Tapi dia dipaksa menikah dengan pria lain, dan waktu itu hatiku patah menjadi dua, tetapi dia sembuh walaupun meninggalkan bekas. Tapi aku justru bersyukur karenanya,”
Sang pemuda hanya diam mendengarkan.
“Kemudian aku sadar, bahwa aku pernah merasakan jatuh cinta, walaupun hatiku remuk, daripada tidak pernah jatuh cinta sama sekali.” Ujar sang kakek mengenang cerita hidupnya. “Sejak saat itu, aku selalu membagi hatiku untuk orang lain, begitu juga orang lain, mereka tulus mencintaiku dan membagi hatinya untuk menambal hatiku yang berlubang. Begitulah hidup. Saling mengambil hati, saling memberi hati, ada saat hati terluka, ada saat hati sembuh dari luka dan meninggalkan bekas berupa syukur. Bukankah patah hati akan membuatmu lebih menghargai cinta dan pengorbanan?”
Sang pemuda langsung menyadari kekeliruannya. Dia terlalu menjaga hatinya sangat mulus sehingga tidak pernah merasakan mencintai, dicintai bahkan terluka. Bukankah hidup selalu diisi dengan hal-hal seperti itu? Saat seseorang terluka, dia akan menyadari indahnya dicintai. Saat seseorang patah hati, dia akan berusaha menemukan kembali kepingan hidupnya yang pernah hilang dan bersyukur saat menemukan kepingan itu.
***
Tidak perlu takut akan patah hati, atau hati yang hancur berkeping-keping. Hati adalah organ terkuat, dia pasti bisa kembali berdetak dan membuat hidup Anda bahagia dan dipenuhi rasa syukur :)
***
Di sebuah desa kecil, hidup seorang pemuda yang selalu membanggakan hatinya. Di masa itu, semua orang bisa melihat hati orang lain. Sang pemuda menjaga hatinya dengan sangat baik, tidak ada cacat sedikitpun pada hatinya. Itu membuatnya bangga dan sedikit sombong.
Pada suatu hari, sang pemuda bertemu dengan seorang kakek penebang pohon. Karena sang kakek hanya memakai celana saat sedang menebang pohon, sang pemuda bisa melihat hati sang kakek. Itu adalah hati paling jelek yang pernah dilihat sang pemuda. Hati kakek itu penuh dengan bekas cuilan, tambalan dari hati lain, lebam, tidak ada bagiannya yang mulus. Sang pemuda kembali sombong dan bangga.
“Hai kakek, coba lihat hatiku, jauh lebih sempurna daripada hatimu,” ujarnya sambil membuka kemeja dan memperlihatkan hatinya yang mulus tanpa cacat.
Sang kakek langsung tersenyum dan menghentikan kegiatan menebang pohon. “Kau benar, hatimu sangat bagus,” ujar sang kakek tanpa melepas senyumnya.
“Wahai kakek, seharusnya kamu menjaga hatimu seperti aku. Coba lihat hatimu, apa saja yang telah kamu lakukan?” lanjut sang pemuda.
Sang kakek tersenyum, “Kamu boleh saja bangga dengan hatimu yang mulus, tetapi aku lebih bangga pada hatiku yang seperti ini,”
Si pemuda sombong langsung merasa heran.
“Anak muda, apa kamu pernah jatuh cinta?” tanya sang kakek.
Sang pemuda menggeleng.
“Ah ya.. sudah aku duga,” ujar sang kakek. “Hatiku patah pertama kali saat aku mencintai seorang gadis dari desa sebelah, saat usiaku tidak jauh dari usiamu. Tapi dia dipaksa menikah dengan pria lain, dan waktu itu hatiku patah menjadi dua, tetapi dia sembuh walaupun meninggalkan bekas. Tapi aku justru bersyukur karenanya,”
Sang pemuda hanya diam mendengarkan.
“Kemudian aku sadar, bahwa aku pernah merasakan jatuh cinta, walaupun hatiku remuk, daripada tidak pernah jatuh cinta sama sekali.” Ujar sang kakek mengenang cerita hidupnya. “Sejak saat itu, aku selalu membagi hatiku untuk orang lain, begitu juga orang lain, mereka tulus mencintaiku dan membagi hatinya untuk menambal hatiku yang berlubang. Begitulah hidup. Saling mengambil hati, saling memberi hati, ada saat hati terluka, ada saat hati sembuh dari luka dan meninggalkan bekas berupa syukur. Bukankah patah hati akan membuatmu lebih menghargai cinta dan pengorbanan?”
Sang pemuda langsung menyadari kekeliruannya. Dia terlalu menjaga hatinya sangat mulus sehingga tidak pernah merasakan mencintai, dicintai bahkan terluka. Bukankah hidup selalu diisi dengan hal-hal seperti itu? Saat seseorang terluka, dia akan menyadari indahnya dicintai. Saat seseorang patah hati, dia akan berusaha menemukan kembali kepingan hidupnya yang pernah hilang dan bersyukur saat menemukan kepingan itu.
***
Tidak perlu takut akan patah hati, atau hati yang hancur berkeping-keping. Hati adalah organ terkuat, dia pasti bisa kembali berdetak dan membuat hidup Anda bahagia dan dipenuhi rasa syukur :)
Di Balik Kekuranganku, Ada Kelebihan
Adalah Am dan Ma, anak kembar yang bekerja sebagai pembawa air di sebuah keluarga kaya. Setiap pagi mereka akan membawa kaleng-kaleng berisi air ke rumah keluarga tersebut.
Am, adalah kembar tertua, ia punya sifat yang angkuh, tak mau susah dan egois. Am tak pernah mau mengalah dari Ma, adiknya. Apapun yang diingini harus tercapai, dan Am selalu ingin semua benda yang dimilikinya adalah yang terbaik. Sampai-sampai, kaleng timba miliknya yang sudah rusak ditukarnya dengan milik Ma untuk dipakai.
Sedangkan Ma, adalah adik yang baik. Apapun yang diberikan kakaknya, ia terima dengan tersenyum dan tak pernah marah. Dengan kaleng timba bocor milik Am, ia pun pergi bekerja tak kenal lelah. Tak sedikitpun ia mengeluh, walaupun ia harus bolak balik dua kali lebih lama dari kakaknya.
Seorang tetangga pernah bertanya, mengapa Ma tak membeli kaleng timba baru saja. Namun, Ma bilang tak punya uang. Penghasilannya selama ini digunakan sebagai biaya pengobatan ibunya yang sakit keras.
Suatu hari, Am dan Ma berangkat menimba air. Mengirimkannya ke tempat keluarga kaya seperti biasanya. Di tengah jalan, Am bertanya pada Ma, "Mengapa kamu tetap terlihat bahagia padahal kamu harus bekerja keras dengan kaleng yang reyot itu?" Kemudian Ma menjawab dengan senyum dan suara lembut, "Tak apa kakak, aku senang kok. Kaleng ini sangat berharga bagiku, ia banyak membantuku. Dan aku yakin, sebentar lagi ia akan membawa keberuntungan besar," jawab Ma. Sang kakak heran, mengapa adiknya itu begitu bodoh dan mau melakukan hal yang tak masuk akal, ia juga sebal terhadap senyum Ma yang selalu terlihat tak ada beban itu. "Bagaimana bisa kau bilang kaleng rusak itu membawa keberuntungan, kalau aku jadi kamu, sudah kutendang kaleng itu jauh-jauh dan kubuang!" kata Am. Kali ini, Ma berhenti sejenak, "Coba lihat di sekelilingmu, Kak. Apa yang kau lihat?"
Am berhenti dan menikmati pemandangan indah bunga-bunga di sepanjang jalan. Air yang selama ini menetes dari kaleng timba bocor milik Ma lah yang telah menyirami semua bunga itu hingga tumbuh subur dan indah. Esok hari, Ma akan memanen bunga itu dan menjualnya ke kota. "Bukankah aku sangat beruntung, Kak..." kata Ma.
Ingatlah, tak semua kekurangan itu buruk. Bisa jadi kekurangan yang Anda miliki adalah sebuah kelebihan yang masih terbungkus rapi dan belum Anda buka...
Am, adalah kembar tertua, ia punya sifat yang angkuh, tak mau susah dan egois. Am tak pernah mau mengalah dari Ma, adiknya. Apapun yang diingini harus tercapai, dan Am selalu ingin semua benda yang dimilikinya adalah yang terbaik. Sampai-sampai, kaleng timba miliknya yang sudah rusak ditukarnya dengan milik Ma untuk dipakai.
Sedangkan Ma, adalah adik yang baik. Apapun yang diberikan kakaknya, ia terima dengan tersenyum dan tak pernah marah. Dengan kaleng timba bocor milik Am, ia pun pergi bekerja tak kenal lelah. Tak sedikitpun ia mengeluh, walaupun ia harus bolak balik dua kali lebih lama dari kakaknya.
Seorang tetangga pernah bertanya, mengapa Ma tak membeli kaleng timba baru saja. Namun, Ma bilang tak punya uang. Penghasilannya selama ini digunakan sebagai biaya pengobatan ibunya yang sakit keras.
Suatu hari, Am dan Ma berangkat menimba air. Mengirimkannya ke tempat keluarga kaya seperti biasanya. Di tengah jalan, Am bertanya pada Ma, "Mengapa kamu tetap terlihat bahagia padahal kamu harus bekerja keras dengan kaleng yang reyot itu?" Kemudian Ma menjawab dengan senyum dan suara lembut, "Tak apa kakak, aku senang kok. Kaleng ini sangat berharga bagiku, ia banyak membantuku. Dan aku yakin, sebentar lagi ia akan membawa keberuntungan besar," jawab Ma. Sang kakak heran, mengapa adiknya itu begitu bodoh dan mau melakukan hal yang tak masuk akal, ia juga sebal terhadap senyum Ma yang selalu terlihat tak ada beban itu. "Bagaimana bisa kau bilang kaleng rusak itu membawa keberuntungan, kalau aku jadi kamu, sudah kutendang kaleng itu jauh-jauh dan kubuang!" kata Am. Kali ini, Ma berhenti sejenak, "Coba lihat di sekelilingmu, Kak. Apa yang kau lihat?"
Am berhenti dan menikmati pemandangan indah bunga-bunga di sepanjang jalan. Air yang selama ini menetes dari kaleng timba bocor milik Ma lah yang telah menyirami semua bunga itu hingga tumbuh subur dan indah. Esok hari, Ma akan memanen bunga itu dan menjualnya ke kota. "Bukankah aku sangat beruntung, Kak..." kata Ma.
Ingatlah, tak semua kekurangan itu buruk. Bisa jadi kekurangan yang Anda miliki adalah sebuah kelebihan yang masih terbungkus rapi dan belum Anda buka...
'Aku Ingin Belajar', Kisah Serumpun Impian di Bawah Kolong Jembatan
Mungkin yang satu ini adalah bukti nyata mengenai 'siapa mereka'. Seorang pria yang bukan guru, berusia 40 tahun, bernama Rajesh Kumar Sharma, dengan kondisi seadanya membawa impian-impian para muridnya. Pak Rajesh sebenarnya adalah seorang pemilik toko di New Delhi. Namun setiap 2 jam sehari, dia meninggalkan toko untuk menuju ke sekolah.
Jangan membayangkan gedung sekolah, ruang kelas atau pun murid berseragam. Tidak ada bangku, tidak ada papan. Hanya pilar-pilar jembatan yang senantiasa dilalui angin dan bisingnya jalanan, serta dinding yang dicat hitam sebagai papan. Kelas ini berada di bawah jembatan, dihadiri oleh anak-anak usia 4-12 tahun yang ingin belajar. Mereka belajar pada Pak
Rajesh Kumar secara gratis. Bahkan pria itu sudah menjalani kegiatan ini selama beberapa tahun.
Rajesh Kumar sudah pernah mengajar 140 anak dan 70 di antaranya sudah bisa bersekolah di lembaga pendidikan yang seharusnya. Meski begitu, mereka masih sering datang ke sana untuk belajar pada Pak Rajesh Kumar.
Mengapa Pak Kumar masih sempat memikirkan merek a? Mengapa ia tidak memikirkan bayaran atas semua yang telah dilakukannya untuk masa depan anak-anak tersebut?
Mungkin bila kita tidak mengalami kesulitan atau keterbatasan, kita tak tahu betapa berharganya sesuatu yang bisa kita nikmati sekarang. Pak Rajesh Kumar pernah merasakan sedihnya ketika impiannya harus terhambat masalah uang sehingga ia harus keluar dari sekolah bisnis di tahun ketiga. Ia tak ingin orang lain merasakan hal yang sama, oleh karena itu ia berani melakukan semua ini. Ia melihat anak-anak kecil yang miskin ini menghabiskan waktu bermain di lumpur dan tidak menggunakan kesempatan ini untuk belajar.
Ia sempat berdebat dengan para orang tua anak-anak miskin ini yang lebih ingin anak-anaknya bekerja daripada pergi ke sekolah. Pak Rajesh Kumar meyakinkan bahwa pendidikan itu lebih bernilai. "Guru kami mengatakan bahwa ketika kemiskinan menyerangmu, kau harus membuka pikiran dan semua itu hanya bisa dilakukan dengan menempuh pendidikan," ujar salah satu muridnya.
Rajesh Kumar sudah pernah mengajar 140 anak dan 70 di antaranya sudah bisa bersekolah di lembaga pendidikan yang seharusnya. Meski begitu, mereka masih sering datang ke sana untuk belajar pada Pak Rajesh Kumar.
Mengapa Pak Kumar masih sempat memikirkan merek a? Mengapa ia tidak memikirkan bayaran atas semua yang telah dilakukannya untuk masa depan anak-anak tersebut?
Mungkin bila kita tidak mengalami kesulitan atau keterbatasan, kita tak tahu betapa berharganya sesuatu yang bisa kita nikmati sekarang. Pak Rajesh Kumar pernah merasakan sedihnya ketika impiannya harus terhambat masalah uang sehingga ia harus keluar dari sekolah bisnis di tahun ketiga. Ia tak ingin orang lain merasakan hal yang sama, oleh karena itu ia berani melakukan semua ini. Ia melihat anak-anak kecil yang miskin ini menghabiskan waktu bermain di lumpur dan tidak menggunakan kesempatan ini untuk belajar.
Ia sempat berdebat dengan para orang tua anak-anak miskin ini yang lebih ingin anak-anaknya bekerja daripada pergi ke sekolah. Pak Rajesh Kumar meyakinkan bahwa pendidikan itu lebih bernilai. "Guru kami mengatakan bahwa ketika kemiskinan menyerangmu, kau harus membuka pikiran dan semua itu hanya bisa dilakukan dengan menempuh pendidikan," ujar salah satu muridnya.
Pak Rajesh Kumar tidak mengecek absensi, ia juga tidak mengatur sebagaimana sekolah pada umumnya. Namun inilah yang membuat pada murid kembali padanya. Ia menyadari bahwa pemerintah tak mungkin membangun sekolah di tempat itu sekarang. Namun ia memiliki impian untuk memiliki sekolah kecil di mana anak-anak bisa belajar.
Pak Rajesh Kumar menyadari tidak semua orang beruntung dalam pendidikan, tidak semua orang ingin pendidikan. Namun ia percaya ada jalan untuk mendaki dari ketidak beruntungan itu dan bahwa semua orang butuh pendidikan, butuh belajar. Anak-anak yang lugu itu tadinya tak mengerti banyak mengenai pentingnya belajar, tapi pada akhirnya mereka menyadari bahwa mereka membutuhkannya.
Kisah ini mengingatkan kita yang masih mampu menuntut ilmu ke sekolah dan belajar dengan layak. Syukuri dan nikmati apa yang kita miliki, karena di luar sana ada mereka yang berusaha lebih keras untuk bisa mewujudkan apa yang kita nikmati sekarang. Semoga bermanfaat, Ladies.
sumber : vemale.com
Menuju Cinta Halal Anisa
Saya tidak pernah mengira, adik lelaki saya yang bisa ganti pacar 3 kali setahun, melabuhkan cintanya pada seorang perempuan biasa hari ini dalam bahtera pernikahan. Sebelumnya Nino selalu gonta-ganti pacar. Dari yang wajahnya unyu, yang bodynya seksi, yang anak punk, hingga seleb twit. Kalau sudah bosan, Nino akan meninggalkan pacar-pacarnya begitu saja.
Kalau sudah begini, saya yang repot. Pasalnya, Nino lebih berani mengenalkan semua pacarnya kepada saya daripada ke mami. Maklum, mami kami orangnya seperti scanner dan investigator jadi satu. Kalau ketemu pacar anaknya, bisa dilihat dari ujung rambut sampai ujung kaki. Waktu makan bareng juga pertanyaannya banyak, bertubi-tubi sampai bikin semua pacar dan gebetan saya serta Nino paling kecemasan kalau diajak ke rumah.
Oke, kembali pada topik, si Nino. Ketika Nino menghilang dari kehidupan pacarnya, maka gadis-gadis itu akan datang pada saya, kakak perempuannya. Mereka bisa telepon saya di tengah malam atau pagi buta hanya untuk nangis-nangis laporan kalau mereka nggak bisa melupakan Nino. Saya pun jadi sibuk menenangkan dan menganjurkan mereka untuk melupakan Nino.
“Gila kamu, No. Kamu pelet pakai apa sih anak-anak itu sampai susah banget dibilangin buat move on?” tanya saya suatu ketika pada Nino,
“Yah, maklum dong, Kak. Mereka kan kebanyakan anak SMA sama semester awal gitu. Jadi masih agak sinetron gitu deh. Ntar juga lupa sendiri,” kata Nino sambil asik main video game.
“Kamu juga kenapa sih nggak awet banget sama satu cewek? Sinta ya Sinta aja, kenapa kudu TTM-an sama si anak punk itu. Ng.. siapa tuh namanya?” tanya saya.
“Kiki, Kak Nin.. ADUH! Tuh kan aku jadi nabrak. Ahh.. Kak Nina sih pakai sebut nama keramat itu,” keluh Nino.
Melihatnya kalah bermain game, saya justru tertawa terbahak-bahak. “Ya gitu kalo kebanyakan ‘istri’. Kuwalat tuh karena kamu suka mainan cewek trus kalo udah putus Kak Nina yang disuruh mutusin.”
Nino meringis kecil, “Ahh.. itu kan adiknya Kak Nina juga.”
Huff.. benar juga. Mantan-mantan Nino memang kebanyakan masih ABG yang terdramatisir. Ouch… Pikir mereka karena saya dikenalkan pada mereka lantas mereka sudah bagaikan ‘adik ipar’ saya. Pakai add saya di akun Facebook mereka untuk dicantumkan di daftar keluarga mereka sebagai ‘Sister’. Lalu karena saya adalah orang yang tidak tegaan, saya nggak enak dong mau menghapus mereka dari ‘Kartu Keluarga Facebook’ saya.
Jadilah saya punya ‘adik-adik’ yang nggak kalah memusingkannya dari Nino. Punya Nino saja sering bikin saya pusing. Seringkali saya kasihan sih setiap kali Nino bawa pacar barunya kepada saya. Seolah saya sudah tahu endingnya akan bagaimana. Tapi yang paling parah adalah ketika Nino memutuskan seorang mantan pertamanya saat masih SMA bernama Tari.
Tari anak bungsu dan sepertinya anak kesayangan. Wajahnya manis, rambut panjang lurus berponi dengan gaya bicara yang manja-manja tapi menyenangkan. Tapi karena Tari gampang cemburu, Nino jadi enggan dan memutuskan Tari. Awalnya Tari jual mahal, tapi setelah tahu Nino sudah menggandeng anak paling seksi di sekolahnya yang bernama Brenda, Tari datang ke kampus saya sambil menangis.
“Kak Nina.. Kak Nina, Tari nggak bisa hidup tanpa Nino. Tari sayang banget sama Nino,” ujarnya terisak-isak di kantin kampus sampai banyak pasang mata melihat ke arah kami. Malu banget sih, tapi Tari terlihat lemas karena mengaku belum makan, jadi saya ajak ke kantin untuk makan.
“Ya udah, Tari sayang. Kamu jangan sedih terus, ya? Mungkin perpisahan ini bisa mendewasakan kalian. Kakak yakin kok banyak pria yang lebih baik buat Tari,” kata saya seperti adegan-adegan sinetron sambil membelai rambutnya.
Tari menggeleng dan mengusap air mata dengan tisu satu gulung yang sudah tersisa separuhnya. “Nggak bisa, Kak. Tari lebih baik mati aja kalo nggak ada Nino, Kak.”
Waduh, nggak lucu nih kalau sampai Tari benar-benar mau bunuh diri. Karena Tari mengaku sebelumnya dia sempat akan bunuh diri di toilet sekolah dan diselamatkan teman-temannya. Nino mengakui kejadian itu ketika saya tanya. Gara-gara hal ini, hampir setiap malam saya ditelepon Tari yang menceritakan kegalauannya.
Namun itu kisah lama. Seorang gadis berjilbab bernama Anisa menjadi pamungkas tingkah genit Nino. Wajahnya tidak cantik karena makeup tebal yang sering saya lihat pada wajah pacar-pacar Nino sebelumnya. Anisa sering menunduk tapi kalau orang melihat wajahnya, memang akan betah karena senyumnya sangat ramah dan manis. Ia anak Abah Usman, seorang tetangga yang sering jadi imam di masjid perumahan.
Abah Usman terkenal keras, religius dan disiplin. Anaknya tiga dan Anisa adalah satu-satunya anak perempuan. Anisa kebetulan satu kelas dengan Nino di kampus. Awalnya Nino bilang hanya iseng mendekati Anisa. Siapa sangka Anisa bisa bikin Nino penasaran?
Ternyata Anisa tidak mengenal istilah pacaran. Ketika didekati oleh Nino beberapa kali dan si playboy itu hendak menembaknya, Anisa berkata, “Maaf, Mas. Terima kasih sudah jujur, tapi Anisa nggak bisa terima cinta yang belum halal.”
Awalnya Nino masa bodoh dengan hal itu. Ditolak ya sudah, memang Nino tidak terlalu mengharapkan Anisa. Namun, mungkin memang sudah waktunya Nino belajar. Anak itu seperti terusik harga dirinya karena ditolak Anisa. Nino pun mulai rajin sholat ke masjid, tapi tujuannya tak lain adalah untuk mematahkan prinsip Anisa. Nino pikir kalau dia sholat, maka Anisa akan bersedia menjadi kekasihnya.
Sayangnya, Anisa tidak begitu terkesan dengan hal itu. Begini kata Anisa, “Sholatlah karena Allah, Mas. Bukan karena ingin membuktikan kepada Anisa.”
Sontak kalimat tersebut ‘menampar’ Nino. Adik bungsu saya itu belum pernah ditolak oleh anak perempuan yang ditaksirnya. Namun kali ini Anisa tidak hanya menolak permainan cintanya, namun juga menunjukkan keteguhan prinsipnya bahwa dia tidak bisa disamakan dengan gadis-gadis yang selama ini dipacari Nino.
Sejak saat itu, Nino agak pendiam dan selama beberapa bulan tidak mengenalkan gadis manapun pada saya. Namun pernah suatu kali saya dan mami terhenyak karena Nino mengaji setelah maghrib. “Kok tumben Nino ngaji, Nin?” tanya mami pada saya. Senyum kecil saya mengiringi jawaban pada mami, “Habis ditolak sama anaknya Abah Usman, Mi. Kena hidayah kayanya.”
Begitulah Nino jadi rajin sholat dan mengaji. Celana jeansnya yang sering dipakai melorot, kini dinaikkan ke pinggang. Pakaiannya lebih rapi, kadang-kadang pakai baju koko, Nino juga jadi lebih wangi dan lebih serius kuliahnya. Ketika saya meledek, “Dahsyat juga nih efeknya Anisa?” Nino hanya senyum dan berkata, “Nino kan udah gede, Kak. Udah bukan waktunya main-main lagi.”
Satu semester kemudian Nino lulus kuliah setahun lebih cepat. Tanpa berlama-lama, Nino melamar pekerjaan. Dan tanpa pernah saya dengar dia berpacaran dengan Anisa, beberapa bulan setelah Nino bekerja, ia mengutarakan niatnya melamar gadis berjilbab itu. Dia minta ijin pada saya untuk menikah lebih dulu.
Saya tidak banyak berpikir dan mengiyakan permintaannya. Awalnya saya ragu kalau tanpa pacaran apa lamaran itu bisa diterima. Ternyata Abah Usman yang terkenal sangat protektif terhadap Anisa bahkan dengan senyuman menyambut maksud baik Nino dan keluarga kami. Saya sendiri saja pacaran dua tahun masih sering takut dan sungkan dengan orang tua pacar saya.
Hari ini adalah hari pernikahan keduanya. Semalam saat mengunjungi Anisa yang fitting baju pengantin, saya sempat sharing dan bertanya, “Kenapa kamu bisa terima Nino begitu saja padahal belum pernah pacaran? Kamu tolak juga kan sebelumnya?”
Seperti biasa, dengan senyum manisnya Anisa menjawab. “Kelihatannya aneh kan, Kak? Tapi menurut Anisa, Nino sudah memahami cinta yang halal, jadi Anisa dan Abi bisa terima. Nggak pacaran bukan berarti nggak cinta, Kak. Cinta kami saling bertautan menuju Allah. Daripada pacaran, halalkan saja dengan pernikahan.”
Mendengar hal tersebut, saya sedikit tertegun. Sebagai wanita saya sebenarnya baru mengerti pola pikir ini. Anisa. Namun saya akui Anisa benar, dia memang punya prinsip mengenai cinta dalam agamanya, yang lebih saya kagumi adalah keteguhannya sebagai wanita muslim. Anisa mampu menjaga hati dan mengajarkan Nino bagaimana merawat cinta hingga tiba waktunya mereka menghalalkannya.
Saya merasa lega Nino mendapatkan wanita yang baik dan mengakhiri petualangan cintanya yang sinetron banget. Kini Nino punya cinta yang halal, lebih realistis dan insya Allah bahagia selama-lamanya.
Kalau sudah begini, saya yang repot. Pasalnya, Nino lebih berani mengenalkan semua pacarnya kepada saya daripada ke mami. Maklum, mami kami orangnya seperti scanner dan investigator jadi satu. Kalau ketemu pacar anaknya, bisa dilihat dari ujung rambut sampai ujung kaki. Waktu makan bareng juga pertanyaannya banyak, bertubi-tubi sampai bikin semua pacar dan gebetan saya serta Nino paling kecemasan kalau diajak ke rumah.
Oke, kembali pada topik, si Nino. Ketika Nino menghilang dari kehidupan pacarnya, maka gadis-gadis itu akan datang pada saya, kakak perempuannya. Mereka bisa telepon saya di tengah malam atau pagi buta hanya untuk nangis-nangis laporan kalau mereka nggak bisa melupakan Nino. Saya pun jadi sibuk menenangkan dan menganjurkan mereka untuk melupakan Nino.
“Gila kamu, No. Kamu pelet pakai apa sih anak-anak itu sampai susah banget dibilangin buat move on?” tanya saya suatu ketika pada Nino,
“Yah, maklum dong, Kak. Mereka kan kebanyakan anak SMA sama semester awal gitu. Jadi masih agak sinetron gitu deh. Ntar juga lupa sendiri,” kata Nino sambil asik main video game.
“Kamu juga kenapa sih nggak awet banget sama satu cewek? Sinta ya Sinta aja, kenapa kudu TTM-an sama si anak punk itu. Ng.. siapa tuh namanya?” tanya saya.
“Kiki, Kak Nin.. ADUH! Tuh kan aku jadi nabrak. Ahh.. Kak Nina sih pakai sebut nama keramat itu,” keluh Nino.
Melihatnya kalah bermain game, saya justru tertawa terbahak-bahak. “Ya gitu kalo kebanyakan ‘istri’. Kuwalat tuh karena kamu suka mainan cewek trus kalo udah putus Kak Nina yang disuruh mutusin.”
Nino meringis kecil, “Ahh.. itu kan adiknya Kak Nina juga.”
Huff.. benar juga. Mantan-mantan Nino memang kebanyakan masih ABG yang terdramatisir. Ouch… Pikir mereka karena saya dikenalkan pada mereka lantas mereka sudah bagaikan ‘adik ipar’ saya. Pakai add saya di akun Facebook mereka untuk dicantumkan di daftar keluarga mereka sebagai ‘Sister’. Lalu karena saya adalah orang yang tidak tegaan, saya nggak enak dong mau menghapus mereka dari ‘Kartu Keluarga Facebook’ saya.
Jadilah saya punya ‘adik-adik’ yang nggak kalah memusingkannya dari Nino. Punya Nino saja sering bikin saya pusing. Seringkali saya kasihan sih setiap kali Nino bawa pacar barunya kepada saya. Seolah saya sudah tahu endingnya akan bagaimana. Tapi yang paling parah adalah ketika Nino memutuskan seorang mantan pertamanya saat masih SMA bernama Tari.
Tari anak bungsu dan sepertinya anak kesayangan. Wajahnya manis, rambut panjang lurus berponi dengan gaya bicara yang manja-manja tapi menyenangkan. Tapi karena Tari gampang cemburu, Nino jadi enggan dan memutuskan Tari. Awalnya Tari jual mahal, tapi setelah tahu Nino sudah menggandeng anak paling seksi di sekolahnya yang bernama Brenda, Tari datang ke kampus saya sambil menangis.
“Kak Nina.. Kak Nina, Tari nggak bisa hidup tanpa Nino. Tari sayang banget sama Nino,” ujarnya terisak-isak di kantin kampus sampai banyak pasang mata melihat ke arah kami. Malu banget sih, tapi Tari terlihat lemas karena mengaku belum makan, jadi saya ajak ke kantin untuk makan.
“Ya udah, Tari sayang. Kamu jangan sedih terus, ya? Mungkin perpisahan ini bisa mendewasakan kalian. Kakak yakin kok banyak pria yang lebih baik buat Tari,” kata saya seperti adegan-adegan sinetron sambil membelai rambutnya.
Tari menggeleng dan mengusap air mata dengan tisu satu gulung yang sudah tersisa separuhnya. “Nggak bisa, Kak. Tari lebih baik mati aja kalo nggak ada Nino, Kak.”
Waduh, nggak lucu nih kalau sampai Tari benar-benar mau bunuh diri. Karena Tari mengaku sebelumnya dia sempat akan bunuh diri di toilet sekolah dan diselamatkan teman-temannya. Nino mengakui kejadian itu ketika saya tanya. Gara-gara hal ini, hampir setiap malam saya ditelepon Tari yang menceritakan kegalauannya.
Namun itu kisah lama. Seorang gadis berjilbab bernama Anisa menjadi pamungkas tingkah genit Nino. Wajahnya tidak cantik karena makeup tebal yang sering saya lihat pada wajah pacar-pacar Nino sebelumnya. Anisa sering menunduk tapi kalau orang melihat wajahnya, memang akan betah karena senyumnya sangat ramah dan manis. Ia anak Abah Usman, seorang tetangga yang sering jadi imam di masjid perumahan.
Abah Usman terkenal keras, religius dan disiplin. Anaknya tiga dan Anisa adalah satu-satunya anak perempuan. Anisa kebetulan satu kelas dengan Nino di kampus. Awalnya Nino bilang hanya iseng mendekati Anisa. Siapa sangka Anisa bisa bikin Nino penasaran?
Ternyata Anisa tidak mengenal istilah pacaran. Ketika didekati oleh Nino beberapa kali dan si playboy itu hendak menembaknya, Anisa berkata, “Maaf, Mas. Terima kasih sudah jujur, tapi Anisa nggak bisa terima cinta yang belum halal.”
Awalnya Nino masa bodoh dengan hal itu. Ditolak ya sudah, memang Nino tidak terlalu mengharapkan Anisa. Namun, mungkin memang sudah waktunya Nino belajar. Anak itu seperti terusik harga dirinya karena ditolak Anisa. Nino pun mulai rajin sholat ke masjid, tapi tujuannya tak lain adalah untuk mematahkan prinsip Anisa. Nino pikir kalau dia sholat, maka Anisa akan bersedia menjadi kekasihnya.
Sayangnya, Anisa tidak begitu terkesan dengan hal itu. Begini kata Anisa, “Sholatlah karena Allah, Mas. Bukan karena ingin membuktikan kepada Anisa.”
Sontak kalimat tersebut ‘menampar’ Nino. Adik bungsu saya itu belum pernah ditolak oleh anak perempuan yang ditaksirnya. Namun kali ini Anisa tidak hanya menolak permainan cintanya, namun juga menunjukkan keteguhan prinsipnya bahwa dia tidak bisa disamakan dengan gadis-gadis yang selama ini dipacari Nino.
Sejak saat itu, Nino agak pendiam dan selama beberapa bulan tidak mengenalkan gadis manapun pada saya. Namun pernah suatu kali saya dan mami terhenyak karena Nino mengaji setelah maghrib. “Kok tumben Nino ngaji, Nin?” tanya mami pada saya. Senyum kecil saya mengiringi jawaban pada mami, “Habis ditolak sama anaknya Abah Usman, Mi. Kena hidayah kayanya.”
Begitulah Nino jadi rajin sholat dan mengaji. Celana jeansnya yang sering dipakai melorot, kini dinaikkan ke pinggang. Pakaiannya lebih rapi, kadang-kadang pakai baju koko, Nino juga jadi lebih wangi dan lebih serius kuliahnya. Ketika saya meledek, “Dahsyat juga nih efeknya Anisa?” Nino hanya senyum dan berkata, “Nino kan udah gede, Kak. Udah bukan waktunya main-main lagi.”
Satu semester kemudian Nino lulus kuliah setahun lebih cepat. Tanpa berlama-lama, Nino melamar pekerjaan. Dan tanpa pernah saya dengar dia berpacaran dengan Anisa, beberapa bulan setelah Nino bekerja, ia mengutarakan niatnya melamar gadis berjilbab itu. Dia minta ijin pada saya untuk menikah lebih dulu.
Saya tidak banyak berpikir dan mengiyakan permintaannya. Awalnya saya ragu kalau tanpa pacaran apa lamaran itu bisa diterima. Ternyata Abah Usman yang terkenal sangat protektif terhadap Anisa bahkan dengan senyuman menyambut maksud baik Nino dan keluarga kami. Saya sendiri saja pacaran dua tahun masih sering takut dan sungkan dengan orang tua pacar saya.
Hari ini adalah hari pernikahan keduanya. Semalam saat mengunjungi Anisa yang fitting baju pengantin, saya sempat sharing dan bertanya, “Kenapa kamu bisa terima Nino begitu saja padahal belum pernah pacaran? Kamu tolak juga kan sebelumnya?”
Seperti biasa, dengan senyum manisnya Anisa menjawab. “Kelihatannya aneh kan, Kak? Tapi menurut Anisa, Nino sudah memahami cinta yang halal, jadi Anisa dan Abi bisa terima. Nggak pacaran bukan berarti nggak cinta, Kak. Cinta kami saling bertautan menuju Allah. Daripada pacaran, halalkan saja dengan pernikahan.”
Mendengar hal tersebut, saya sedikit tertegun. Sebagai wanita saya sebenarnya baru mengerti pola pikir ini. Anisa. Namun saya akui Anisa benar, dia memang punya prinsip mengenai cinta dalam agamanya, yang lebih saya kagumi adalah keteguhannya sebagai wanita muslim. Anisa mampu menjaga hati dan mengajarkan Nino bagaimana merawat cinta hingga tiba waktunya mereka menghalalkannya.
Saya merasa lega Nino mendapatkan wanita yang baik dan mengakhiri petualangan cintanya yang sinetron banget. Kini Nino punya cinta yang halal, lebih realistis dan insya Allah bahagia selama-lamanya.
Kisah Cinta Romantis Pak Dahlan Iskan dan Istrinya
Cinta itu seperti membangun keping-keping bata untuk menjadi sebuah rumah.
Awalnya hanya tanah, tetapi dengan kesabaran, bata-bata itu menjadi bangunan kokoh yang tidak akan terguncang apapun.
Itulah kalimat yang bisa menggambarkan perjalanan cinta Menteri BUMN Indonesia, bapak Dahlan Iskan dan ibu Nafsiah Sabri. Keduanya adalah pasangan suami istri yang memulai cinta dari kesederhanaan. Dengan saling menopang, saling mendukung dan percaya, kehidupan mereka semakin membaik. Kehidupan yang semakin baik itu tidak melunturkan cinta diantara mereka, justru semakin lengket dan mesra di usia yang sudah tidak lagi muda.
Dilansir dari Merdeka.com, inilah kisah cinta bapak Dahlan Iskan dan ibu Nafsiah Sabri.
Dari Ceramah Agama, Berlanjut Boncengan Sepeda
Awal mula pertemuan pak Dahlan dan ibu Nafsiah bisa dikatakan unik. Keduanya sama-sama memberikan ceramah agama di sebuah stasiun radio Semarang. Karena masih malu dan belum berani menyatakan cinta, pak Dahlan menawarkan membonceng ibu Nafsiah muda dengan sepeda. Hal ini terus dilakukan setiap kali berangkat siaran radio.
"Dulu saya hanya punya sepeda dan berangkat boncengan. Saya lihat sepertinya Ia bisa menjadi ibu yang hebat," ujar pak Dahlan Iskan. So sweet..
Di mata pak Dahlan Iskan, ibu Nafsiah adalah perempuan yang salehah, ceria, mandiri dan humoris. Tidak ingin berlama-lama, pak Dahlan Iskan menikahi ibu Nafsiah Sabri pada tahun 1975. Saat itu, usia pak Dahlan 25 tahun sedangkan usia ibu Nafsiah 22 tahun.
Kehidupan Awal Pernikahan Yang Sulit
Pada masa awal pernikahan, pak Dahlan tidak memiliki pekerjaan tetap. Dia meninggalkan bangku kuliah dan memilih menjadi reporter lepas di sebuah surat kabar di Semarang. Kondisi yang sulit itu tidak menyurutkan cinta ibu Nafsiah. Beliau tetap menjadi istri yang setia, penurut dan mencintai pak Dahlan sepenuh hati. Di sepanjang usia pernikahan mereka, pak Dahlan dan ibu Nafsiah dikaruniai dua putra Azrul Ananda dan Isna Fitriana.
"Kehidupan sehari-hari lebih banyak dibantu dari gaji istri saya yang menjadi guru SD waktu itu. Ketika lahir anak pertama, Azrul Ananda, kita bisa menyewa rumah yang ada kamarnya, meski di gang sempit," ujar pak Dahlan.
Setia Walaupun Pak Dahlan Sakit
Kesetiaan adalah kunci sebuah pernikahan yang langgeng, hal itu diperlihatkan oleh pengabdian ibu Nafsiah. Walaupun pak Dahlan Iskan divonis mengidap kanker hati ganas, beliau tetap setia menemani suaminya. Pada tahun 2008, pak Dahlan melakukan operasi transplantasi hati untuk kesembuhannya.
Cinta keduanya tidak surut dimakan usia. Ibu Nafsiah tetap mendukung langkah karir suaminya, mulai dari reporter lepas hingga menjadi Menteri BUMN seperti saat ini. Bahkan saat pak Dahlan menjual e-troll di jalan tol, ibu Nafsiah menemani dan membantu suami walau harus berpanas-panas di bawah terik sinar matahari.
Tetap Suka Masakan Ibu Nafsiah
Menjadi seorang pejabat negara tidak membuat pak Dahlan melupakan hangat dan lezatnya masakan sang istri. Hingga sekarang, ibu Nafsiah masih sering membuat masakan untuk pak Dahlan untuk dimakan di Gedung Kementrian. Pak Dahlan bukan tipe pria yang malu membawa bekal dari rumah, beliau bahkan menawarkan dan membanggakan masakan istrinya di depan para wartawan. Menteri energik yang satu ini juga lebih senang menikmati masakan istrinya ketimbang makan di luar.
Semoga kebahagiaan dalam kisah cinta ini menular pada kita semua.
I love you with all of my heart, body ,and soul.
You complete me.
You make my life worth living.
Awalnya hanya tanah, tetapi dengan kesabaran, bata-bata itu menjadi bangunan kokoh yang tidak akan terguncang apapun.
Itulah kalimat yang bisa menggambarkan perjalanan cinta Menteri BUMN Indonesia, bapak Dahlan Iskan dan ibu Nafsiah Sabri. Keduanya adalah pasangan suami istri yang memulai cinta dari kesederhanaan. Dengan saling menopang, saling mendukung dan percaya, kehidupan mereka semakin membaik. Kehidupan yang semakin baik itu tidak melunturkan cinta diantara mereka, justru semakin lengket dan mesra di usia yang sudah tidak lagi muda.
Dilansir dari Merdeka.com, inilah kisah cinta bapak Dahlan Iskan dan ibu Nafsiah Sabri.
Dari Ceramah Agama, Berlanjut Boncengan Sepeda
Awal mula pertemuan pak Dahlan dan ibu Nafsiah bisa dikatakan unik. Keduanya sama-sama memberikan ceramah agama di sebuah stasiun radio Semarang. Karena masih malu dan belum berani menyatakan cinta, pak Dahlan menawarkan membonceng ibu Nafsiah muda dengan sepeda. Hal ini terus dilakukan setiap kali berangkat siaran radio.
"Dulu saya hanya punya sepeda dan berangkat boncengan. Saya lihat sepertinya Ia bisa menjadi ibu yang hebat," ujar pak Dahlan Iskan. So sweet..
Di mata pak Dahlan Iskan, ibu Nafsiah adalah perempuan yang salehah, ceria, mandiri dan humoris. Tidak ingin berlama-lama, pak Dahlan Iskan menikahi ibu Nafsiah Sabri pada tahun 1975. Saat itu, usia pak Dahlan 25 tahun sedangkan usia ibu Nafsiah 22 tahun.
Kehidupan Awal Pernikahan Yang Sulit
Pada masa awal pernikahan, pak Dahlan tidak memiliki pekerjaan tetap. Dia meninggalkan bangku kuliah dan memilih menjadi reporter lepas di sebuah surat kabar di Semarang. Kondisi yang sulit itu tidak menyurutkan cinta ibu Nafsiah. Beliau tetap menjadi istri yang setia, penurut dan mencintai pak Dahlan sepenuh hati. Di sepanjang usia pernikahan mereka, pak Dahlan dan ibu Nafsiah dikaruniai dua putra Azrul Ananda dan Isna Fitriana.
"Kehidupan sehari-hari lebih banyak dibantu dari gaji istri saya yang menjadi guru SD waktu itu. Ketika lahir anak pertama, Azrul Ananda, kita bisa menyewa rumah yang ada kamarnya, meski di gang sempit," ujar pak Dahlan.
Setia Walaupun Pak Dahlan Sakit
Kesetiaan adalah kunci sebuah pernikahan yang langgeng, hal itu diperlihatkan oleh pengabdian ibu Nafsiah. Walaupun pak Dahlan Iskan divonis mengidap kanker hati ganas, beliau tetap setia menemani suaminya. Pada tahun 2008, pak Dahlan melakukan operasi transplantasi hati untuk kesembuhannya.
Cinta keduanya tidak surut dimakan usia. Ibu Nafsiah tetap mendukung langkah karir suaminya, mulai dari reporter lepas hingga menjadi Menteri BUMN seperti saat ini. Bahkan saat pak Dahlan menjual e-troll di jalan tol, ibu Nafsiah menemani dan membantu suami walau harus berpanas-panas di bawah terik sinar matahari.
Tetap Suka Masakan Ibu Nafsiah
Menjadi seorang pejabat negara tidak membuat pak Dahlan melupakan hangat dan lezatnya masakan sang istri. Hingga sekarang, ibu Nafsiah masih sering membuat masakan untuk pak Dahlan untuk dimakan di Gedung Kementrian. Pak Dahlan bukan tipe pria yang malu membawa bekal dari rumah, beliau bahkan menawarkan dan membanggakan masakan istrinya di depan para wartawan. Menteri energik yang satu ini juga lebih senang menikmati masakan istrinya ketimbang makan di luar.
Semoga kebahagiaan dalam kisah cinta ini menular pada kita semua.
I love you with all of my heart, body ,and soul.
You complete me.
You make my life worth living.
Sumber : Vemale.com
Ini Apa?
Ini apa?
Apa ini?
Anak-anak menangis
Buruh menjerit
Rakyat merintih
Bunuh diri
Mati
Harga membunuh jutaan manusia
Nasi mengejek
Uang terkikik
Busung lapar mendekap mesra
Ini apa?
Apa ini?
Ada golongan atas
Ada golongan bawah
Ada terkikik
Ada menjerit
Katanya negara demokrasi?
Katanya beriman?
Kenapa masih korupsi?
Kurang gaji kurang?
Ah...
Apa ini?
Ini apa?
Kacau....!!
Morat marit...!!
Apa ini?
Anak-anak menangis
Buruh menjerit
Rakyat merintih
Bunuh diri
Mati
Harga membunuh jutaan manusia
Nasi mengejek
Uang terkikik
Busung lapar mendekap mesra
Ini apa?
Apa ini?
Ada golongan atas
Ada golongan bawah
Ada terkikik
Ada menjerit
Katanya negara demokrasi?
Katanya beriman?
Kenapa masih korupsi?
Kurang gaji kurang?
Ah...
Apa ini?
Ini apa?
Kacau....!!
Morat marit...!!
Senin, 25 Februari 2013
AKU ADALAH ANAK SEORANG NAPI
Hari ini
aku mendapatkan tugas bahasa indonesia yang harus dipresentasikan.Namaku Ilham
Zulkarnain,aku adalah murid dari sebuah Pondok Pesantren terkenal di Jawa
Timur.Aku bisa sekolah disini hanya karna kemampuanku di bidang akademik,juga
karna belas kasihan dari salah seorang pengajar disini.
Semua murid
sudah berkumpul didalam kelas,mereka saling membicarakan tugas
masing-masing.Tugas bahasa kali ini adalah menceritakan tentang orang tuanya
dan keluarganya.Semua tampak bangga dengan karangan masing-masing.Mereka
bercerita bahwa ayahnya seorang kyai,PNS,Dokter,dan sebagainya.Sepertinya hanya
aku yang ragu untuk bercerita.
“Hey
Ham,kenapa kau diam saja disitu.Bergabunglah dengan kawan yang
lain.Kemarilah,kita saling bercerita.” Sapa Mahmud dari gerombolan anak dipojok
kelas.
“Iya Ham,kemarilah!!Gabunglah
sini kau!!” Ajak teman-temanku dari pojok ruangan.
“Tidaklah kawan,hari ini badanku
tak enak sekali rasanya.Malas aku untuk beranjak dari kursi ini.” Sahutku
sekenanya
“Ah,,rindu mamaknya mungkin dia”
Sahut si Raja dengan logat Bataknya yang khas itu.
“Bisa saja kau ini kawan!!”
Kataku
Semua anak di rungan menjadi
tertawa.Terus saja aku pandangi tulisanku.Aku takut jika aku ceritakan
kisahku,aku justru dijauhi oleh teman-temanku.Guruku bahas indonesiapun masuk
kedalam ruangan,seketika itu juga kelas menjadi hening.
“Bagaimana?Apakah semua siap
bercerita hari ini?Kalau ada yang tidak siap,lebih baik keluar saja.” Kata pak
Syam guruku bahasa indonesia dengan tegas.
“Siap pak!!” Kata teman-temanku
serentak.
Semuanya semakin sibuk berlatih
menceritakan keluarganya saat pak Syam
mulai memanggil satu persatu muridnya untuk bercerita di depan kelas.Masih saja
aku pandangi tulisanku.Aku berharap bel segera berbunyi dan aku tak perlu lagi
bercerita didepan kelas.Namun lamunanku buyar ketika Pak Syam mentebut namaku.
“Ilham Zulkarnain,silahkan maju”
Kata pak Syam mengagetkanku.Aku Cuma diam memandangnya,aku masih ragu.
“Ilham,ayo maju dan ceritakan
tentang keluargamu.” Pak Syam mengulangi perintahnya.Aku pun maju kedepan
kelas.Aku lihat seluruh anak memandangiku dengan heran. Bukannya langsung
bercerita,aku malah menyerahkan buku tugasku kepada pak Syam. Beliau melihatnya
sejenak.Namun,kemudian dia berbalik menatapku sambil tersenyum.
“Berceritalah
nak,ceritakanlah.Buat semua temanmu kagum kepadamu.”Kata pak Syam sambil
menepuk pundakku.Akhirnya akupun berani bercerita.
“Namaku Ilham Zulkarnain.Aku
anak seorang napi.”
Semua teman-temanku tampak
sangat kaget.Aku bisa melihatnya lewat cara mereka menatapku.Sekali lagi aku
melihat Pak Syam,beliau tersenyum dan menganggukkan kepalanya kepadaku.berarti
aku harus melanjutkan ceritaku.
“Aku berasal dari
Jogjakarta,daerah gunung kidul.Aku punya dua adik perempuan,namanya Aisyah dan
Fatimah.Aisyah sekarang sedang melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren
Gontor Putri.Sedangkan Fatimah,dia adik kecilku.Sekarang dia baru berumur tiga
tahun dan sedang masa lucu-lucunya.Ibuku meninggal karena Kanker.Sedangkan
Ayahku,saat ini sedang menjalani hukumannya di penjara.Pasti kalian kaget kan
kalau aku adalah anak narapidana?”
Aku lihat mereka hanya
menganggukkan kepalanya saja.
“Dulu keluarga kami adalah
keluarga kecil yang bahagia,walau kami hidup serba pas-pasan,tapi kami selalu
menikmatinya.Ayahku bekerja sebagai kuli angkut di pasar,kadang dia juga
menjadi tukang untuk memperbaiki rumah warga yang rusak.Sedangkan Almarhum
ibu,beliau bekerja sebagai buruh cuci untuk warga,dengan upah yang tak
seberapa.Aku masih ingat hari itu,aku diminta oleh wali kelasku untuk membayar
uang Gedung dan Uang SPP yang menunggak 2 bulan.Sedangkan si Aisyah meminta
untuk dibelikan buku persiapan ujian nasional.Ayah yang saat itu baru saja
mendaptkan upahnya,kemudian membagi uang itu menjadi tiga,untuk uang
sekolahku,untuk membeli buku Ais,juga untuk biaya persalinan ibu.Sedangkan uang
hasil kerja ibu,kami gunakan untuk makan.Karna usia kehamilan ibu semakin
tua,ibu akhirnya berhenti bekerja.Ayah juga sudah jarang sekali mendapatkan
pekerjaan.Terkadang dia pulang larut malam agar bisa mendapatkan uang.Sering
aku meminta kepada Ayah agar aku berhenti sekolah saja,tapi ayah justru
marah.Beliau selalu saja bilang.’Mau jadi apa kamu kalau tidak sekolah?Di zaman
yang sulit ini,pendidikan akan selalu menjadi nomor satu nak!Biarlah bapak dan
ibu saja yang bodoh,jangan kalian.Anak-anak bapak kelak akan jadi pemimpin
negeri ini,Pemimpin yang adil.Kamu harus giat belajar.Jangan kecewakan ibu dan
bapak!!’.Aku Cuma diam saja ketika beliau berkata seperti itu.Akupun nekat
bekerja,yang aku ingat.Waktu itu aku bekerja jadi penyemir sepatu.Yang akhirnya
uang itu aku gunakan untuk membelikan pakaian bayi ketika si kecil Fatimah
lahir.”
Hampir saja aku menangis saat
bercerita.
“Hingga suatu sore,saat aku
sedang memandikan si kecil Fatimah.Datanglah tetanggaku bernama Lek Parman.Dia
datang kerumahku dengan wajah yang tegang,dan tubuhnya basah oleh keringat.
‘Ada apa lek?Kok sepertinya
panik seperti itu? Kataku sambil menggendong Fatimah
‘Bapakmu le,bapakmu dibawa ke
kantor polisi!!’
‘Astagfirullah…Kok bisa pak
lek?Memangnya bapak ngapain?’
‘Bapakmu tadi mau mengambil buah
pisang selirang di kebun,yang
ternyata milik pak polisi.Ayo cepat kamu kesana!!’
Lemas rasanya seluruh badanku
saat itu.Aku segera menemui ibu didalam kamr.Tapi beliau pinsan,mungkin beliau
juga mendengar berita tadi.Aku bingung sekali waktu itu,Aisyah menangis karena
takut,ibu pinsan,dan si kecil fatimah belum juga tertidur di gendonganku.Ku
minta Aisyah menjaga ibu di kamar.Akupun berlari kekantor polisi dengan Fatimah
digendonganku.Mirip sekali aku dengan gelandangan waktu itu,bajuku Cuma 2 helai
yang aku pakai bergantian hingga terlihat kumel waktu itu.Aku lihat ayah
tertunduk lesu,dengan borgol ditangannya.Aku mendekatinya,tak kuasa aku menahan
tangis melihat beliau dalam keadaan seperti itu.
Sebulan kemudian,ayah diadili di
meja hijau.Wajahnya tampak lesu,dan badannya tampak kurus.Aku,Fatimah dan
Aisyah datang bersama tetanggaku yang prihatin atas keadaan kami.Sempat ayah
datang dan duduk disampingku sebelum persidangan dimulai.Dia menciumiku,Ais,juga
Fatimah.Beliau berpesan agar aku menjaga ibu dan adik-adik sampai ayah pulang
kerumah.
Ayah dituntut 5tahun penjara
oleh jaksa.Hakim pun menyetujuinya,dengan wajah ya terpaksa.Hakim sempat
nebgucapkan kata maaf kepada Ayah.Ayah hanya tersenyum mendengar semua itu.
Setelah Ayah dipenjara,aku yang
jadi tulang punggung keluarga.Aku bekerja sebagai kuli angkut dipasar,juga jadi
pemulung.Fatimah selalu ada dalam gendonganku saat aku bekerja.Tapi aku tak
berhenti belajar,setiap buku yang aku dapat disampah,aku pelajari dan kerjakan
semua soal-soalnya.Aku bertekat untuk menjadi pemimpin dan penegak hukum yang
adil.Membela yang benar dan menyalahkan yang salah.Aku tak ingin mengecewakan
kedua orangtuaku yang telah berkorban begitu besarnya untukku.Aku ingin
membanggakan mereka.Aku tetap bangga karna ayahku dipenjara demi keluarga,bukan
karena korupsi.Kami hanyalah segelintir cerita masyarakat pinggiran yang
terlupakan,yang memohon keadilan yang sejati.
Sekian
cerita dari saya,terimakasih.” Kataku mengakhiri cerita.
Tanpa kusangka semua
teman-temanku berdiri dan memberikan tepuk tangan untukku.Bahkan Pak Syam
sempat menitikkan air mata mendengar ceritaku.
Itulah sepenggal kisah
hidupku.Dan aku tak akan malu lagi mengakui bahwa aku anak napi.Karna itu semua
adalah bukti perjuangan keras ayah untukku.
Maybe you are not my Mine
Cinta…
Mungkin
untuk sebagian orang itu adalah sebuah kisah yang sangat indah.Tapi entah
mengapa bagiku itu adalah suatu hal yang menyakitkan dan menakutkan.Berulang
kali aku menjalin asmara namun akhirnya kandas juga di tengah jalan.Pacar
pertamaku meninggal karena Kanker ganas di paru-parunya.Setelah dia meninggal
aku mencoba menjalin hubungan dengan beberapa pria.Tapi akhirnya pupus juga.Aku
mengakhiri hubunganku karena bermacam-macam hal,ada yang gara-gara pacarku
selingkuh,dia di jodohkan orang tuanya,dan yang terakhir karena hubungan kami
tak direstui.
Setelah
melewati berbagai macam sakit hati karena putus.Aku pun memilih untuk
sendiri.Kehidupanku mulai berantakan.Aku jadi sangat emosional,jarang ada
dirumah.Waktuku seluruhnya aku gunakan unutk berdiam diri ditempat yang dulu
sering aku kunjungi bersama mantan kekasihku.Aku selalu berharap dia tiba-tiba
muncul,dan memelukku serta meredakan air mataku.
Ibuku
sering sekali member nasihat tentang sikapku yang seperti itu.Beliau sering
mengatakan kalau dia bukanlah segalanya dalam hidupku.Aku harus terus
melanjutkan hidupku tanpa dia.Aku nggak pernah mendengarkannya,aku Cuma diam
saja.
Hingga
suatu hari aku mendapatkan pesan singkat dari orang yang tak pernah aku duga
sebelumnya.Dia adalah Zidan,teman lamaku.Memang aku tak pernah lagi berhubungan
dengan dia setelah Hp ku hilang.
Aku
pun mencoba mengingat-ingat seperti apa wajahnya.Ah,,,dia si hitam manis yang
lucu itu.Iya,senyumannya itu yang membuat aku terpesona padanya,dan suaranya
itu yang selalu membuat aku deg-degan saat berada disisinya.Ah,,ada apa
ya.Kenapa dia sms aku?
“Kamu
dapat nomerku darimana?” Kataku dalam pesan singkatku
“Oh,,adalah.Tapi
rahasia!!Bagaimana kabarmu may?”
“Aku
baik-baik saja kok zid,Cuma agak sedikit galau aja sih”
“Lho
galau kenapa?Pasti karena pacarnya ya??”
“Nggak
kok,aku baru saja putus.”
“Kenapa
may?”
“Ya
adalah alasannya.”
“Jangan
sedih may.cerita saja sama aku”
“Iya
kapan-kapan aja kalau ketemu,nggak apa-apakan zid kalau kita ketemu?Lagi pula aku
jjuga kangen ngobrol bareng lagi sama kamu.”
“Nggak
apa-apa kok may.Nanti kita atur aja baiknya kapan.”
Hadirnya
zidan mulai bisa menghapus rasa sedih di hatiku.Perlahan-lahan aku mulai bisa
menerima kenyataan kalau aku dan mantanku memang tidak ditakdirkan untuk
bersama.Dan hal itu nggak mungkuin bisa kita paksakan.Aku kembali mulai menata
hatiku unutk menemukan pelabuhan terakhir untuk cintaku.Aku ingin menjalin
hubungan yang serius.Bukan hubungan untuk pacaran.Dan ini adalah terakhir
kalinya aku akan membuka hatiku.
Aku
membuat janji untuk bertemu dengan Zidan di menara kudus jam 03.00
sore,sepulang aku dari semarang.Sepanjang jalan tak henti-hentinya aku
tersenyum sendiri.Aku deg-degan,apa dia masih sama seperti dulu waktu kita
bertemu?Atau sudah berubah jadi lebih keren?Ah,,aku bingung memikirkannya.
Sampai
di menara kudus aku menghampiri masjid untuk shalat Ashar.Aku pun menunggu dia
didalam masjid.Aku coba mengirimkan pesan ke dia.
“Zid,kamu
dimana?aku sudah di Masjid menara.Cepat ya,aku takut nggak ada kendaraan waktu
pulang nanti.” Kataku dalam Pesan singkat itu
Tak
lama kemudian Hp ku bergetar karena ada sms.Akubuka SMS itu.
“Aduh
may,,,maaf ya!!Aku lupa,ternyata ada kegiatan mengaji di Pondok.Kamu mau nggak
nunggu aku sebentar?Cuma sebentar kok ngajinya!!” Balas Zidan lewat SMS.
“Ya
sudah kalau gitu,aku tunggu kamu di Masjid.”
Sebenarnya
aku nggak suka harus menunggu dia di menara seperti ini.Aku takut bertemu lagi
dengan mantan kekasihku yang rumahnya hanya beberapa meter dari sini.Tapi mau
apalagi coba,Zidan sekolahnya disini.Mana mungkin bisa bertemu ditempat lain.Akhirnya
aku menunggu dia sampai sejam.Selintas ada seorang laki-laki mirip dia berjalan
dihadapanku.
“Drrrttt…..Drrrrtttt…….”
ternyata ada sms masuk
“Kamu
dimana May,aku sudah di Masjid Menara nih” Isi pesan SMS dari dia.
Aku
nggak membalas SMS dari dia.Langsung saja aku menghampiri dia yang ternyata ada
di Masjid bagian depan.Belum sampai aku menghampirinya,dia sudah berjalan
kearahku dan meminta aku untuk mengikutinya dari belakang.Aku pun menurutinya.
Ternyata
dia benar-benar sudah berubah,berbeda dengan Zidan yang pertama aku kenal.Dia
sudah tampak dewasa sekarang.Cara dia berjalan,berbicara.Ah,,hatiku semakin
berdebar-debar dibuatnya.Yang aku rasakan bingung sekali saat itu.Aku ingin
bicara,tapi rasanya tenggorokanku seperti tersekat sesuatu.Apalagi saat duduk
berhadapan dengan dia.Subhanallah,,,dia begitu indah ternyta.Rasanya dadaku
semakin sesak untuk bernafas.
“Mau
minum apa may?” Tanyanya sambil tersenyum kepadaku
“Oh,,nggak
usah…Aku nggak haus kok”
Ya
Allah,bagaimana aku bisa minum.Sedangkan untuk bernafas saja aku seolah
berusaha setengah mati!!Dia indah sekali,lebih dari apapun.
Dari
awal sampai akhir percakapan,aku nggak banyak bicara.Aku terus saja terfokus
dengan mata dan senyumnya.Sampai berulang kali dia memintaku untuk tidak terus
menatap matanya seperti itu.Waktu sampai dirumah,aku tak henti-hentinya
tersenyum didepan kaca.Entah kenapa baying wajahnya selalu saja membayang di
fikiranku.Apa aku jatuh cinta sama dia ya?Ah,,nggak mungkin perasaan lama yang
aku pendam itu muncul lagi.Mungkin hanya perasaan sesaat saja.
Hingga
beberapa waktu perasaan itu masih saja menyelimuti fikiranku.Semakin hari
semakin intens saja aku berkomunikasi dengan dia.Kadang iseng-iseng aku buka
fbnya,aku lihat apakah dia punya pacar.Ah,,semakin deg-degan aja aku
dibuatnya.Sepertinya benar,aku mulai suka dengannya.
Suatu
hari aku coba menyatakan perasaanku kepadanya.Dia menjawab bahwa dia hanya
menganggapku sebagai adik saja,dan nggak lebih dari itu.Tapi aku nggak menyerah
begitu saja,aku mencoba cari tau wanita seperti apa yang di sukainya.
Sejak
saat itu aku mulai belajar untuk berjilbab,belajar membaca dan menulis
Al-Qur’an,dan mempelajari Ilmu agama yang lainnya.Aku berharap suatu saat nanti
hatinya bisa berpaling sedikit untukku.
Berbulan-bulan
aku menanti,ternyata hasilnya juga sama.Hanya sebatas Sahabat.Aku mulai
menyerah saat itu.Aku yakin nggak ada ruang lagi untukku,aku pasrahkan semuanya
kepada Allah.
Pada
suatu sore,ibu mengajakku berbicara di ruang tamu.
“May,berulang
kali pemuda datang ke rumah untuk meminangmu.Kenapa masih saja kau tolak?”
“Jelas
aku menolaknya,aku tidak mencintainya Bu,,”
“Cinta
itu kan bisa datang ketika kalian bersama?Cobalah kamu buka hati kamu,sedikit
saja untuk dia.”
“Maaf
Bu,tetap tidak bisa…”
“Apa
sih kurangnya pemuda itu?Dia pemuda yang baik,mapan,pintar,soleh dan juga
sayang keluarga.Apalagi yang kamu cari?”
“Aku
tidak mencari apa-apa,hanya hatiku saja yang belum klik dengannya. Aku
terlanjur mencintai pemuda lain Bu…”
“Siapa
lagi?Apa kamu masih mengharapkan cinta Hakim?Dia saja tidak pernah mau
memperjuangkan cintanya.Dia tak akan pernah bisa memperjuangkanmu di depan
keluarganya!”
“Bukan,bukan
dia Bu.Ya sudahlah,untuk saat ini aku belum menginginkan menjalin hubungan
dengan siapapun.Suatu saat nanti kalau memang jodoh sudah mempertemukan,pasti
aku akan mendapat pasangan.”
“Tapi
jodoh itu nggak akan datang dengan sendirinya jika kamu terus menolak setiap
pemuda yang datang meminangmu nak!”
“Sudahlah
bu,tak perlu ibu khawatir seperti itu.Semua ada waktunya,percayalah…!”
Akhir-akhir
ini memang aku sering berdebat dengan ibuku mengenai pemuda-pemuda yang datang
untuk meminangku.Sedangkan aku masih saja menolak mereka. Hatiku terlanjur
telah terpikat oleh kesolehan seorang pemuda,yaitu Zidan.Dan sulit bagiku untuk
berpaling menjauhinya.Aku sendiri masih menunggu kepastian dari dia,apakah dia
mencintaiku atau tidak.
Aku
mencoba membuka FB dia,ada satu komentar di fotonya.
“kang zidan sangar eg!! pantesan mbk chacha kesemsem (Suka)!!!” kata seorang pengguna FB yang
bernama Eza.
“eech,,,,selly,,,” Komentar balasan
dari Chacha.
Aku penasaran,akhirnya aku buka FB
yang bernama Chaca itu.Aku mencoba melihat fotonya.Subhanallah,dia gadis yang
cantik sekali.Dia seorang siswi MA,dan sepertinya dia dari keluarga yang
terpandang.Aku ingat-ingat lagi,ternyata dia adalah gadis yang pernah dipasang
fotonya sebagai foto profil akun FB mas Zidan.Seketika itu juga aku nggak bisa
bicara apa-apa,air mataku mengalir memandangi foto gadis itu.Dia gadis yang
sempurna,pantas mas Zidan tak pernah memilihku.
Aku tak tahu apa yang harus aku
lakukan,seluruh dayaku serasa hilang melihat kenyataan ini.Apakah ini jawab
dari lamanya penantianku,jawab dari segala sesuatu yang telah aku alami?Ya
Allah,kenpa hal seperti ini terjadi lagi,untuk kesekian kalinya selalu
begini.Kenapa kenyataan ini datang disaat aku benar-benar memantabkan hatiku
untuknya?Dan sekarang apa yang harus aku lakukan?
Aku seperti ada dalam persimpangan
sekarang.Perasaanku sudah tak berbentuk lagi,aku tak ingin kembali ke rumah.Aku
tak ingin dinikahkan.Karena pasti cereitanya akan sama dengan kisahku
sebelumnya.Aku malu pulang ke rumah.Aku tak ingin menjadi beban fikiran ibu
untuk kesekian kalinya.Di sisi lain aku mendapatkan tawaran untuk menjadi
pekerja seni di Paris.Ya Allah,apa yang harus aku pilih.
Malam ini akupun menunaikan Sholat
Tahajud,berharap ada petunjuk dari yang Maha mengetahui atas pertnyaan yang
mengusik fikiranku saat ini.
Keesokan harinya aku ikut ibu
kerumah Saudara,disana ada acara tahunan untuk menyambut Maulid Nabi Muhammad
SAW.Hari ini 25 Januari 2013,tepat 2 tahun 3 bulan kami bersama.Hari ini hari
penentuan tentang penantianku. Aku mengirimkan pesan singkat padanya.
“Wah kak,seru tradisi Meron kak!!”
Kataku memulai pembicaraan
“Oh iya kakak,tradisi itu dapat
juara 3 di STAIN..” Balasnya
“Masa sih kak?”
“Iya ada anak pati dik.Juara 1 nya
kan anak Papringan dik.Hehe”
“Oh dia,adik nge fans kok kak sama
dia!”
“Ciieeeeee adik.”
“Hehehe..Saudara pada bawa pacar
semua,Cuma adik yang single”
“Kanapa?Adik iri?
“Nggak kok kak,adik iri sama yang
udah nikah dan punya anak.”
“Makanya cepat nikah,nah punya
anak.”
“Ntar kak,adik masih nunggu
kepastian.”
“Kepastian dari siapa dik?”
“Dari anak Papringan kak (maksudku
adalah kepastian dari dia)”
“Kalau dia nggak mau?” Deg,langsung
lemas aku membaca sms itu.Seolah dunia akan hancur saat itu juga.
“Ya nggak usah nikah kak.” Jawabku.
“Lho,kok gitu dik?Kan katanya
banyak yang ngajakin adik nikah?
“Nikah kan bukan untuk sementara
kak,nikah itu untuk selamnya.Adik nggak mau menikah tanpa didasari perasaan
cinta.Memang banyak kak yang datang.Tapi sayangnya nggak ada yang bisa memenuhi
persyaratan adik.”
“Tapi kan orang yang lebih baik dan
sempurna dari pada dia kan banyak?”
“Aku nggak mencari kesempurnaan
kak,yang penting dia bisa menjadi imam yang baik untuk adik dan juga dia
memperbolehkan adik untuk merawat orang tuanya serta orang tua adik suatu saat
nanti.”
Ternyata setelah itu nggak ada
jawaban sms dari dia.Aku pun sekedar basa-basi lagi mengirimi pesan dia.Aku pun
bertnya tentang kembarannya,aku berniat menceritakan apa yang aku rasakan ke
dia.Dia menjawab nanti ya dik.Aku pun menunggunya hingga pukul 21.00
malam.Semalam itu aku hanya tertidur 10 menit,aku bangun dan menunaikan Sholat
Thajud dan mengaji.Berharap keputusan yang aku ambil tidak salah langkah
dikemudian hari.Aku mengemasi pakaianku ke koper,semua surat-surat penting aku
masukkan juga.Aku pamit ke Ibu untuk pergi ke kota Jogja Menuntut Ilmu.Tapi
sebenarnya aku berangkat ke Paris hari itu.
Pukul 06.00 aku berdiri di pintu
bandara.Masih terasa sesak sekali dadaku menahan kesedihan ini seorang diri.Ingi
aku melihatnya sekali lagi,melihat dia tersenyum.Ingin aku kembali ke masa
2tahun 3bulan 1hari yang lalu,Saat kita pertama jumpa.Saat pertama aku melihat
senyumnya.
Mungkin aku salah,cinta tak mungkin
bisa dipaksakan.Satu saat nanti semua akan mengerti arti dari kepergianku saat
ini.
Untuknya,saat kamu baca cerpen
ini.Mungkin aku ada di jantung kota Paris.Menyanyikan sebuah lagu yang harusnya
aku nyanyikan untukmu.
Langganan:
Postingan (Atom)