Aneh,
sepertinya dunia makin meracau tak jelas. Terutama negeriku ini. Semakin hari,semakin
tak tahu hendak dibawa kemana. Indah dimata luar,tapi busuk dari mata dalam. Indah?
Apa maksud dari kata ‘Indah’ itu? Bagiku ini sama sekali tidak indah. Ini justru
terasa aneh,terasa janggal. Sedikit mengusik fikiran saat aku ingin terlelap
tidur. Sore ini aku pergi ke bioskop, sekadar menonton sebuah film karya anak
negeri. K vs K, Kita vs Korupsi….
Kesan pertama
saat hendak menonton film ini, aneh. Bagaimana tidak, tak ada antrian panjang
di lokasi pembelian tiket. Para remaja justru berbondong-bondong menuju ke
tiket penjualan film romance dengan cinta yang menggebu, dan alur yang mengharu
biru. Kesan kedua, masih aneh. Yang memenuhi ruang pemutaran film hanya para
orang tua,adapun remaja hanya ada segelintir di pojok ruangan. Beda dengan
ruangan sebelahnya, histeris. Kesan ketiga aku dapat setelah pemutaran film ini
berakhir. Film ini membuat……aku bingung.
“Sik,kamu
ngapain bengong di teras sendirian?” ku lirik wanita yang berseloroh itu. Baju kerja
lengkap dengan perhiasan ala pejabat masa kini. Itu Ibu ku…
“Enggak
bu, lagi mikir masalah kerjaan aja.”
“Kenapa?”
Wanita itu duduk di hadapanku. Wangi parfum branditnya menyengat di hidungku.
“Kalah
tender bu…”
“Ibu kan
sudah bilang sama kamu. Kasih ehmmm….” Ibu menggesekkan ibu jari dan jari
tengahnya. Uang yang dia maksud.
“Ah,
males bu..” jawabku. Ini yang selalu aku sebut keanehan di sekelilingku. Uang dan
selalu saja uang, alat pemulus segala hal.
“Kamu
ini kalau dikasih tau kok nggak pernah mau nurut sih. Persis kayak bapakmu kamu
itu. Nah,sekarang lihat aja bapakmu itu. Jadi apa dia sekarang? Cuma guru
berpenghasilan rendah kan? Coba aja dulu dia nurut sama apa omongan ibu, pasti
semua nggak jadi kayak gini ini.” Jawab ibuku dengan wajah yang mulai memerah
karena geram.
“Bapak
memang miskin bu. Tapi bapak itu jujur,nggak suka telikung sana sini. Nggak suka
tipu-tipu,model pejabat zaman sekarang…” mataku setangah melirik ke arah ibu.
“Kamu
sindir ibu?”
“Enggak
kok,tapi kalau ibu ngrasa juga nggak apa-apa. Berarti itu tandanya ibu masih
waras,dan masih punya hati nurani. Yah, walaupun hanya secuil saja …” Kata-kata
ku kali ini membuat ibu seperti orang yang terbius obat. Diam tanpa kata, dan
aku menang telak diperdebatan kali ini. Aku pun berdiri dari tempat dudukku. Sesaat
sebelum masuk rumah, aku sejenak membalikkan badanku lagi. Ada sesuatu yang
lupa aku katakan.
“Bu,
mulai besok Sika mau ikut bapak aja di kampung. Males di rumah ini, rasanya tuh….
Panas!” kataku pada ibu. Jari-jariku membentuk tanda kutip diudara saat aku
mengucapkan kata ‘Panas’, sebagai istilah teguran untuk ibu.
“Pergi
saja sana, ikut bapakmu. Paling sehari dua hari aja kamu udah nggak betah hidup
di kampung.” Teriak ibuku dari beranda rumah.
“Hemmm…
Whatever!” Jawabku.
Kali ini
keputusanku sudah bulat untuk ikut tinggal bersama bapak dikampung. Mungkin disana
aku bisa memperoleh ketenangan yang tak aku dapatkan di rumah. Dan semua
jawaban atas pertanyaan yang aku anggap aneh.
Oh ya,
sekilas informasi saja. Bapak dan ibu ku sudah lama bercerai,semenjak aku SD
lah. Lama juga kan? Permasalahannya, bapak ku itu orangnya anti banget sama
nama nya tipu-tipu. Bayarannya dulu pas-pasan, hidupnya pun sederhana. Itu yang
ibu nggak suka,katanya bapak itu manusia paling bodoh. Ya lebih tepatnya,urusan
finansial lah yang akhirnya memisahkan mereka. Malam ini aku akan
bersiap-siap,mengemasi beberapa barang yang akan aku bawa. Dan besok, aku akan
segera meluncur ke kampung halaman bapakku.
0 komentar:
Posting Komentar